Kisah Khabbab bin Aratt

“Semoga Allah Merahmati Khabbab. Ia Telah Masuk Islam Karena Keinginannya, Berhijrah Karena Taat dan Hidup Sebagai Mujahid.” (Ali bin Abi Thalib)

Ummu Anmar Al Khuza’iyah pergi ke pasar An Nakhasin  di Mekkah. Ia ingin membeli seorang budak untuk membantunya, dan memanfaatkan tenaganya. Ia memperhatikan wajah-wajah budak yang ditawarkan untuk dijual. Pilihannya jatuh pada seorang anak kecil yang belum lagi baligh. Ia mendapati anak tersebut sehat badannya dan tanda-tanda kecerdasan terpancar jelas di wajahnya. Hal itu yang membuat Ummu Anmar tertarik untuk membelinya. Ummu Anmar lalu menyerahkan uang untuk membelinya, kemudian membawa pulang bocah budak tersebut. Di tengah jalan, Ummu Anmar menoleh kepada budak kecil tadi dan bertanya: “Siapa namamu, wahai anak?” Ia menjawab: “Khabbab.” Ummu Anmar bertanya lagi: “Lalu siapa nama ayahmu?” Ia menjawab: “Al Aratt.” Ummu Anmar bertanya kembali: “Dari mana engkau berasal?” Ia menjawab: “Dari Najd.” Ummu Anmar menukas: “Kalau begitu engkau adalah orang Arab!!” Ia membalas: “Benar, saya berasal dari Bani Tamim.” Ummu Anmar bertanya: “Lalu apa yang membuatmu sampai ke tangan para penjual budak di Mekkah?!!” Ia menjawab: “Sebuah kabilah Arab telah menyerang kampung kami. Mereka mengambil hewan ternak, menyandera para wanita dan anak-anak. Dan aku termasuk seorang anak yang tertangkap. Aku terus menjadi budak dengan tuan yang silih berganti sehingga aku di bawa ke Mekkah, dan kini aku berada di tanganmu.

Ummu Anmar mengirimkan budaknya ini ke seorang pandai besi yang ada di Mekkah untuk diajarkan kepadanya bagaimana cara membuat pedang. Dengan cepat budak ini mempelajari dan menguasai cara pembuatan pedang. Begitu Khabbab sudah semakin besar, Ummu Anmar menyewakan untuknya sebuah toko dan membelikan segala perabotannya. Dan di toko tersebut, Khabbab mulai mengkomersialkan keahliannya dalam membuat pedang. Tidak terlalu lama, nama Khabbab sudah terkenal di Mekkah. Banyak orang yang datang kepadanya untuk membeli pedang. Sebab ia terkenal dengan sifat amanah, jujur dan sempurna dalam membuat pedang.

***

Meski Khabbab masih berusia muda akan tetapi ia memiliki pemikiran dan kearifan seperti orang dewasa. Jika ia sudah selesai melaksanakan tugasnya, ia sering menyendiri dan berpikir tentang masyarakat jahiliah yang terjerembab dalam kerusakan dari mulai kaki hingga ujung kepala mereka. Ia merasa aneh dengan kebodohan dan kesesatan yang terjadi pada kehidupan masyarakat Arab sehingga dirinya menjadi salah satu korban dari sifat mereka tersebut. Dia sering mengatakan: “Malam ini harus segera berakhir.” Dia berharap agar umurnya diperpanjang sehingga ia sempat melihat sirnanya kegelapan dan terbitnya terang.

Penantian Khabbab tidak berlangsung lama. Telah sampai pada dirinya bahwa ada sebuah sinar yang muncul dan keluar dari seorang pemuda Bani Hasyim yang dikenal dengan Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Khabbab pun pergi menjumpainya, dan mendengarkan sabdanya. Ia amat terpesona dengan sinarnya. Khabbab pun menjulurkan tangannya kepada orang tersebut dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Dia telah menjadi orang keenam yang masuk Islam di muka bumi ini sehingga ada orang yang berkata: “Waktu telah mendahului Khabbab sehingga ia menjadi orang yang keenam dalam Islam.”

Khabbab radhiallahu ‘anhu tidak menyembunyikan keislamannya dari siapapun. Dan hal itu segera terdengar oleh Ummu Anmar, dan ia pun menjadi marah dibuatnya. Ia kemudian mengajak saudaranya yang bernama Siba bin Abdul Uzza dan mereka juga berjumpa dengan sekelompok pemuda Khuza’ah. Semuanya berangkat untuk menemui Khabbab dan mereka mendapati Khabbab sedang tekun melakukan tugasnya. Maka datanglah Siba menghadapi Khabbab dan berkata kepadanya: “Kami telah mendengar sebuah berita tentangmu yang kami sendiri tidak mempercayainya.” Khabbab bertanya: “Berita apa itu?!” Siba berkata: “Banyak orang yang mengatakan bahwa engkau telah keluar dari agama dan kini engkau menjadi pengikut seorang pemuda dari Bani Hasyim.”

Khabbab lalu berkata dengan tenang: “Aku tidak keluar dari agama, akan tetapi aku telah beriman kepada Allah Yang Esa dan tidak memiliki sekutu baginya. Aku telah menyingkirkan berhala-berhala kalian dan aku bersaksi bahwa Muhammad bin Abdullah adalah utusan-Nya.” Begitu kalimat yang diucapkan Khabbab sampai di telinga Siba dan orang-orang yang bersamanya, maka mereka langsung merangsek ke arah Khabbab untuk memukulinya dengan tangan mereka, dan menendangnya dengan kaki mereka. Dan mereka melemparkan ke tubuhnya benada apa saja dari besi pemukul dan potongan besi yang dapat mereka raih. Sehingga Khabbab terpuruk ke tanah kehilangan kesadaran dengan darah berlumuran.

***

Menyebarlah di Mekkah kisah yang telah terjadi antara Khabbab dan tuannya dengan begitu cepat bagaikan api yang membakar daun kering. Semua manusia keheranan dengan keberanian yang dimiliki Khabbab. Sebabnya belum pernah mereka dengar bahwa ada orang yang menjadi pengikut Muhammad lalu berdiri di depan manusia untuk menyatakan keislaman dirinya dengan begitu tegas dan menantang seperti Khabbab. Para pemuka Quraisy pun kaget oleh kisah Khabbab ini. Tidak pernah terbersit di hati mereka bahwa akan ada seorang budak seperti budak Ummu Anmar yang tidak memiliki keluarga yang dapat melindunginya dapat begitu berani dan keluar dari kekuasaan tuannya. Budak terseut telah berani mencela tuhan-tuhan mereka dengan jelas, dan menganggap bodoh agama bapak dan leluhur mereka. Dan para pembesar Quraisy semakin yakin bahwa budak ini akan semakin berani lagi.

Perkiraan pemuka Quraisy tadi tidak meleset. Keberanian Khabbab rupanya telah mampu menggerakkan para sahabatnya yang lain untuk menyatakan keislaman mereka. Maka mereka mulai mengucapkan kalimat kebenaran dengan terang-terangan satu demi satu. Para pemuka Quraisy berkumpul di Mekkah dan sebagian dari mereka saat itu adalah Abu Sufyan bin Harb, Al Walid bin Al Mughirah, Abu Jahl bin Hisyam dan mereka semua sedang berbicara tentang Muhammad. Mereka melihat bahwa kekuatan Muhammad dari hari ke hari bahkan dari waktu ke waktu semakin bertambah kuat dan besar.

Maka suku Quraisy bertekad untuk mencegah penyakit ini sebelum semakin parah. Dan mereka memutuskan agar setiap anggota kabilah menyiksa pengikut Muhammad sehingga mereka murtad dari agamanya atau hingga mereka mati.

***

Kepada Siba dan kaumnya diberikan tanggung jawab untuk melakukan penyiksaan kepada Khabbab radhiallahu ‘anhu. Maka setiap kali hari terasa panas dan sinar mentari terasa membakar bumi, mereka akan membawa Khabbab ke lembah Mekkah. Mereka menanggalkan pakaian Khabbab dan memakaikan padanya pakaian besi. Mereka tidak memberikan air kepada Khabbab sehingga jika ia sudah merasa amat payah, maka mereka akan berkata kepadanya: “Siapa menurutmu Muhammad itu?” Ia menjawab: “Dia adalah hamba dan Rasul Allah. Ia datang kepada kami dengan membawa agama petunjuk dan kebenaran agar dapat mengeluarkan kami dari kegelapan menuju cahaya.”

Lalu mereka memukulkan tangan mereka ke tubuhnya dan berkata: “Menurutmu apakah Lata dan Uzza itu?” Ia menjawab: “Keduanya adalah berhala yang tuli dan bisu, tidak memberikan mudharat ataupun manfaat.” Lalu mereka membawakan batu-batu yang panas dan menempelkan batu tersebut di punggung Khabbab. Mereka membiarkan bebatuan panas tersebut di punggung Khabbab sehingga keluarlah keringat dari kedua pundaknya.

Ummu Anmar tidak kalah bengis dari saudaranya yang bernama Siba. Dia pernah melihat Rasulullah  yang mempir di toko Khabbab dan berbicara kepadanya. Maka ia langsung marah dengan pemandangan yang telah dilihatnya. Kemudian setiap hari ia mendatangi Khabbab dan langsung mengambil besi panas dari tempat pembakarannya kemudian ia meletakkannya di atas kepala Khabbab sehingga kepalanya melepuh dan ia hilang kesadaran. dan Khabbab sering berdo’a jelek untuk Ummu Anmar dan saudaranya yang bernama Siba.

***

Begitu Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengizinkan kepada para sahabatnya untuk berhijrah, maka Khabbab pun mempersiapkan diri untuk berhijrah. Akan tetapi Khabbab tidak pergi meninggalkan Mekkah kecuali setelah Allah mengabulkan do’a yang ia panjatkan bagi keburukan Ummu Anmar. Ummu Anmar terkena penyakit sakit kepala yang belum pernah terdengar penyakit kepala sehebat itu. Ummu Anmar meraung karena kesakitan seperti seekor anjing yang menggonggong. Maka anak-anaknya mencari tabib ke seluruh tempat yang dapat membantu menghilangkan penyakit yang diderita ibu mereka. Ada orang yang menyarankan bahwa Ummu Anmar tidak akan sembuh dari penyakitnya kecuali bila ia mau menyulut kepalanya dengan api. Maka Ummu Anmar pun menyulut kepalanya dengan besi yang dipanaskan, maka setelah ia melakukannya ia pun terbebas dari sakit kepala yang dideritanya.

***

Dalam perlindungan Bangsa Anshar di Madinah, Khabbab radhiallahu ‘anhu merasakan ketenangan yang sudah sekian lama tidak ia rasakan. Ia begitu senang berada di dekat Nabi tanpa adanya halangan dan rintangan. Ia turut-serta mendampingi Nabi  dalam perang Badr dan berjuang di bawah komandonya. Ia juga turut-serta dalam perang Uhud, dan Allah membuat hatinya saat ia melihat Siba bin Abdul Uzza saudara Ummu Anmar yang menjumpai kematiannya di tangan Singa Allah yang bernama Hamzah bin Abdul Muthalib. Ia diberikan umur yang panjang sehingga ia merasakan kepemimpinan semua khulafa ar rasyidin yang empat. Dan Khabbab hidup di bawah pengawasan mereka dengan hidup yang mulia.

Suatu hari ia mendatangi Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu dalam ruangan kekhilafahannya. Umar langsung menaikan tempat duduk buat Khabbab dan Umar terlihat berlebihan dalam mendekatkan diri kepadanya. Umar berkata kepada Khabbab: “Tidak ada seorang pun yang lebih berhak untuk mendapatkan posisi seperti ini selain Bilal.” Kemudian Umar bertanya kepada Khabbab penyiksaan yang paling keras ia rasakan dari kaum musyrikin, namun Khabbab merasa enggan untuk menceritakannya. Begitu Umar mendesak agar Khabbab bercerita maka Khabbab menyibakan selendang dari punggungnya. Maka kagetlah Umar dengan apa yang ia lihat di punggung Khabbab. Umar bertanya: “Bagaimana bisa seperti ini?!” Khabbab menjawab: “Kaum musyrikin menyalakan kayu bakar sehingga menjadi bara kemudian mereka menanggalkan bajuku. Kemudian mereka menarik tubuhku untuk tidur di atasnya, sehingga daging punggungku terkelupas dari tulang. Tidak ada yang memadamkan api tersebut kecuali air keringat yang berjatuhan dari tubuhku.

Khabbab pada paruh lain dalam hidupnya hidup berkecukupan setelah merasakan kefakiran. Ia memiliki emas dan perak yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Akan tetapi ia mempergunakan uangnya dengan cara yang tidak pernah dibayangkan oleh orang lain. Ia meletakkan dirham dan dinarnya pada sebuah tempat di dalam rumahnya yang telah diketahui oleh orang-orang fakir miskin yang membutuhkan. Ia tidak pernah menyembunyikannya dan juga tidak pernah menguncinya. Orang-orang fakir dan miskin tadi selalu datang ke rumahnya dan mengambil harta tersebut sekehendak mereka tanpa perlu meminta atau izin terlebih dahulu. Meski demikian, Khabbab masih merasa khawatir bila dirinya akan dihisab nanti atau akan diadzab karena harta tersebut.

Beberapa orang sahabatnya bercerita: “Kami menjenguk Khabbab saat ia sekarat. Ia berkata: ‘Di tempat ini terdapat 80 ribu dirham.  Demi Allah, aku tidak pernah menyembunyikannya dan aku tidak pernah menghalangi orang yang memintanya.’ Kemudian ia menangis. Para sahabatnya bertanya: ‘Apa yang membuatmu menangis?’ Ia berkata: ‘Aku menangis karena banyak sahabatku yang sudah wafat namun mereka tidak mendapatkan ganjaran kebaikan mereka di dunia ini sedikitpun. Sedangkan aku masih hidup hingga sekarang dan mendapatkan harta seperti ini yang membuatku khawatir bahwa ini adalah ganjaran kebaikan yang pernah aku lakukan.’

Begitu Khabbab menemui ajalnya, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berdiri di hadapan kuburnya dan berkata: “Semoga Allah merahmati Khabbab. Dia begitu semangat masuk ke dalam Islam. Berhijrah karena patuh kepada Rasul dan hidup sebagai seorang pejuang. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan pernah menyia-nyiakan pahala orang yang memperbagus amalnya.

========================================

Referensi : Shuwar min Hayati Shahabah

Penulis : Dr. Abdurrahman Raf’at Basya

Penerbit : Darul Adab al Islami

Diterjemahkan oleh : Bobby Herwibowo, Lc.

Gambar : shepherd and the sheep – walldevil.com

23 pemikiran pada “Kisah Khabbab bin Aratt

Tinggalkan komentar