Bilung, Dedikasi Rakyat Jelata

Jika Togog adalah salah satu sisi keping mata uang, maka Bilung adalah sisi lainnya. Dua sejoli ini adalah pasangan yang boleh disebut sehidup semati walau tak pernah ada lakon wayang yang menjadikan kedua wayang senior itu binasa. Meski selalu kompak, tak sulit membedakan keduanya. Panakawan sabrang ini memiliki postur tubuh yang lucu namun lebih tepat dibilang absurd. Bilung sendiri memiliki kekhususan suara yaitu cempreng, seperti suara burung betet telat makan.

Dalam lakon “Bagong Dadi Guru” Bilung menjelaskan bahwa Togog dan dirinya semula berasal dari kahyangan. Togog adalah yang tertua dari kuartet bersaudara Togog, Semar, Bilung dan Bathara Guru. Panakawan kerempeng itu sendiri bergelar Bathara Sarawita ketika masih bermukim di kahyangan. Takdir menggariskan Bathara Guru bertahta di kerajaan para dewa. Semar, dan kelak anak-anaknya, menjadi pengasuh para raja golongan kanan dan keturunannya. Togog dan Bilung menjalani tugas sebagai pendamping para raja negeri seberang.

Terpredikati sebagai antagonis karena menjadi bagian dari rezim tiran adalah risiko yang dijalani oleh Bilung. Ia selalu disebut wayang golongan kiri karena ia mendampingi para ratu sabrang yang berwatak arogan, serakah dan takabur. Dalam lingkar kekuasaan tirani itulah peran Togog dan Bilung hadir sebagai penyeimbang. Peran yang sama juga dijalankan oleh Semar dan tiga sekondannya. Namun sejujurnya tanggung jawab Bilung lebih berat dan lebih berrisiko. Semar menjalani peran sebagai penasihat raja-raja berwatak baik dan mudah diatur. Tugas Bilung lebih berat karena ia menghadapi penguasa lalim yang sulit dinasihati.

Duet Bilung – Togog adalah representasi suara rakyat jelata, menasihati akan hal-hal yang baik dan ucapannya cenderung diabaikan. Menasihati penguasa lalim adalah sebuah ibadah yang mulia. Bilung menjalani itu bukan semata statusnya, namun dengan etika dan dedikasi yang tinggi. Menghadapi raja paling arogan sekalipun Bilung selalu menasihati dengan cara yang ma’ruf. Ia mengritik dalam dialog yang formal, bukan dengan cara demonstrasi sembari membuka aib penguasa. Pada lakon “Antareja Mbalela”, Bilung menunjukkan cara elegan dan bermartabat untuk menolak perintah majikan yang tak sesuai hati nuraninya.

Bilung mengajarkan loyalitas dan dedikasi seorang rakyat kepada penguasa. Bilung memiliki kekuatan yang sangat mungkin bisa mengalahkan siapapun termasuk majikannya. Namun itu tak menjadi alasan bagi Bilung untuk tidak taat atau tidak hormat. Meski sakti, sepanjang penguasa tak mengajak kepada maksiyat, Bilung tak akan menolak. Namun ketika penguasa menyeleweng dari norma kebenaran, maka itu tugas Bilung untuk menasihati secara terhormat.

Dalam konteks kekinian, Bilung dan Togog adalah sosok purba yang sudah tak populer di mata semua orang. Mungkin itu juga yang membuat masyarakat dijangkiti amnesia kolektif pada keluhuran etika kerakyatan yang diajarkan oleh Bilung. Ketika Bilung mengajarkan loyalitas, masyarakat sekarang bisa dengan mudah mengkhianati koalisi yang dibangun dengan rasa saling percaya. Ketika Bilung mengajarkan etika menasihati penguasa, masyarakat lebih suka dengan cara arogan, saling cela, membuka aib dan saling memfitnah.

Terlebih dalam masalah kekuasaan. Pragmatisme berpolitik telah membuat bangsa ini mengelus dada melihat hilangnya etika dan estetika di pentas politik kita. Hari ini para sekutu saling mencaci. Rasa takabur yang berlebihan membuat golongan tertentu menjadi terlalu percaya diri lalu tidak lagi menghormati pemimpinnya. Itu semua mendidik masyarakat untuk semakin meyakini bahwa dalam politik, ambisi dan hawa nafsu adalah nomor satu.

Bilung hanyalah rakyat. Tetapi ia juga mengajarkan etika menjadi elite yang bermartabat. Ia tak akan melakukan kudeta hanya karena merasa lebih kuat. Ia tak akan berkhianat ketika beda pendapat. Ia tak akan oportunis hanya karena ambisi. Pelajaran berharga bagi kita untuk mengerti makna menghormati.

sumber gambar : tokohwayangpurwa.blogspot.com

41 pemikiran pada “Bilung, Dedikasi Rakyat Jelata

  1. kita bisa jadi seorang “Bilung” juga gak, y, Om?
    minimal di lokasi terdekat kita..
    Bisa Bilung bagi Pak RT kita, Pak RW, Pak Lurah..

    Wahai Bilung kenapa tak kau catatkan dirimu dalam pelaran moral Pancasila kami, dulu..
    O nasib – o nasib…

  2. Bilung memang hanya rakyat biasa dan tidak populer. Tapi dia berkarakter ya Mas. Bukan hanya suaranya yang cempreng, tapi juga ajarannya tentang etika.

  3. Aku dulu pas kecil sering dipanggil togog… karena fisikku…

    Tapi kalo jaman sekarang, orang-orang kayak bilung cuma dijadikan tontonan dan alat untuk cari uang…

    **sedih

  4. bilung, togog, semuanya baru aku kenal. Aku sih tauny cuma petruk, gareng, bagong. Ternyata, banyak ya lakon di seni wayang jawa..

    Namanya unik2, hehe. Dalam bahasa jawa pasti ada maknanya y mas

  5. “menghormati”

    kata ini sepertinya sudah jarang terdengar di sebuah masyarakat yang pola hubungannya uang dan profit ya, kang?

  6. bilung,,,
    intinya dia tak menjadi mundur menjadi penasihat dalam hal ini koalisi penguasa,,hanya krn di sekitarnya mencemoohnya,,(kenapa sih masih mau koalisi ama penguasa yg begitu…)
    karena niat si bilung adalah perbaikan,,dan perbaikan itu dari dalam,,,biar bgm perbaikan dari luar itu ga seberapa dibanding perbaikan dari luar…
    dan perbaikan itu tak sebentar…toh keburukan yang tercipta saja belum dilalui separuh oleh perbaikan yg ada…ibaratnya kerusakan sudah berjalan 45 tahun tapi perbaikan baru 13 tahun…

  7. bilung,,,
    intinya dia tak menjadi mundur menjadi penasihat dalam hal ini koalisi penguasa,,hanya krn di sekitarnya mencemoohnya,,(kenapa sih masih mau koalisi ama penguasa yg begitu…)
    karena niat si bilung adalah perbaikan,,dan perbaikan itu dari dalam,,,biar bgm perbaikan dari luar itu ga seberapa dibanding perbaikan dari dalam…
    dan perbaikan itu tak sebentar…toh keburukan yang tercipta saja belum dilalui separuh oleh perbaikan yg ada…ibaratnya kerusakan sudah berjalan 45 tahun tapi perbaikan baru 13 tahun…

  8. Mau komen agak pusing, karena ‘takdir’ memisahkan/mengharuskan Togog dan Bilung berseberangan dg Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Padahal mereka semua sama2 Punakawan…
    Apa situasi tsb dpt dipadankan dg situasi politik-pemerintahan RI saat ini ya?!
    Togog dan Bilung disisi menolak hak angket mafia pajak, sementara Semar dan anak2nya disisi setuju hak angket mafia pajak…
    Bisa dikatakan “terjadi perpecahan koalisi punakawan”…
    Usul mas Sedj…, tepat tgl.11 Maret pkl.00.00 lusa, diadakan pagelaran wayang dg lakon “SUMPAH PUNAKAWAN”, yang intinya mempersatukan visi/misi semua punakawan…
    (tapi dalangnya siapa ya?!?…bingung mode on)

  9. I like Mbilung…
    Sebab, pertama kali saya masuk dunia kerja selaku abdi masyarakat, saya mendapat cerita dari pak Kabid tentang kinerja anak buah yang beliau pimpin. Nota bene, mereka adalah calon kolega saya dalam bekerja. Apa kata beliau, “Dasar Mbilung, kerjaan mudah saja kok ga beres-beres!”

    Salam
    Sampurna
    http://percikgagasan.wordpress.com

Tinggalkan Balasan ke sedjatee Batalkan balasan