Murid Terakhir

Ini adalah sore terakhir bagiku untuk berpamitan. Hanya aku dan Budiman di teras rumah kayu itu. Ya, dalam dua tahun terakhir ini hanya Budiman yang hadir ke “sekolah” ini.

“Jadi, Bapak harus kembali ke Jawa?” tanya Budiman dengan wajah tertunduk. Aku masih diam. Surat Keputusan pindah tugas yang ada ditanganku memberi isyarat bahwa aku harus mengakhiri kebersamaanku dengan Budiman, anak didikku yang tersisa. Cita-citaku mendidik Budiman belum tuntas. Aku masih punya mimpi panjang tentang sebuah sekolah untuk mereka, sekolah yang semestinya, meski bukan berarti aku yang harus menjadi guru mereka.

Aku bukan guru, tetapi orang-orang memanggilku Pak Guru, alih-alih menyebutku Pak Mantri sebagaimana profesiku sebagai penyuluh pertanian. Disini aku mengajar, tetapi bukan di gedung sekolah seperti pekerjaan seorang guru. Aku punya murid, kalau boleh disebut begitu, yang jumlahnya tak tentu dengan kehadiran tak pasti pula. Terkecuali Budiman, muridku bisa dipastikan berkurang ketika musim mendaras karet tiba, atau ketika tiba-tiba kebosanan muncul di hati anak-anak itu, maupun orang tua mereka.

Telah enam tahun ini aku bertugas menjadi penyuluh pada kawasan transmigran di pedalaman Riau. Selesai dengan sarjana pertanianku, tugas sebagai penyuluh di tempat yang jauh dari kampung halaman kini menjadi pekerjaanku. Sepeda inilah yang menemaniku menempuh belasan kilometer jalan setapak di tengah ladang untuk menyuluh. Bertahun-tahun mengakrabi petani membuatku faham betapa para transmigran yang polos dan tak terpelajar itu begitu mudah dipermainkan tengkulak karet. Sebagaimana aku hafal bahwa anak-anak para transmigran itu tidak bersekolah, tak mengenal baca tulis dan tak tahu berhitung.

“Sore sudah semakin gelap. Pelajaran hari ini kita akhiri. Besok sore siapa bisa sekolah lagi?” nyaris setiap sore kalimat itu kuucapkan mengakhiri aktifitas belajar disini. Namun tak setiap anak memberi kepastian akan datang untuk belajar esok hari. Ini bukan gedung sekolah. Tetapi hasratku membuatku sanggup menyulap bekas rumah transmigran ini menjadi tempat belajar membaca, menulis dan berhitung. Anak-anak itu, juga orang tua mereka, menyebutnya sekolah.

Perih hatiku ketika orang-orang mencibirku saat kubersihkan bangunan kayu yang disebut orang sebagai sarang hantu itu. Tetapi perlahan kesabaranku membatu, dari gajiku yang tak seberapa ini aku bisa membeli beberapa meja – kursi kayu, sebuah papan hitam dan beberapa lembar poster angka dan huruf.

“Kami mohon ijin kepada Bapak selaku orang tua. Jika diperkenankan boleh kiranya Budiman belajar baca, tulis dan berhitung setiap sore di tempat kami.” Demikian kuketuk setiap pintu, berbicara kepada para orang tua untuk bisa mengajak Budiman juga Zulham, Elias, Darwis, Santoso, Ramadhan, tak terkecuali Uli, Ijah, Wati dan bocah-bocah usia sekolah di kawasan transmigran itu. Tak sekali mereka menghardikku, tak sekali ajakanku ditertawakan, diremehkan “Belajar itu tak penting, Nanti mereka akan bisa berhitung sendiri kalau sudah bisa memanen karet dan sawit dari ladang mereka.”

Ah.. anak-anak itu tetaplah bocah kecil yang senang dengan hal baru. Bocah-bocah itu bersemangat memelajari angka dan huruf, sebesar semangat mereka mendapat buku tulis, pensil, buku gambar dan pensil warna. Itulah yang membuatku senang, kini aku merasa hari-hariku lebih berguna. Aku bangga melihat bocah-bocah yang biasanya hanya bermain dan mengejar-ngejar babi, kini akrab dengan buku dan pensil.

Dapat kumaklumi ketika anak-anak itu mulai bosan dengan apa yang mereka sebut sebagai belajar. Aku bisa mengerti jika anak-anak itu lebih memilih pergi mendaras karet atau ikut keluarga mereka menjual sawit. Satu persatu petani transmigran memetik jerih payah mereka. Kini mereka mengenal listrik dan parabola, anak-anak mereka mengenal televisi dan videogame, benda yang jauh lebih menarik dibanding buku dan papan tulis, toh untuk memainkannya mereka tak perlu harus bisa membaca.

Hanya Budiman yang mampu bertahan. Kepolosannya hanya bercita-cita untuk menjadi seperti diriku, seorang penyuluh, karena ia tak tahu bahwa orang bisa saja berprofesi sebagai polisi, dokter, pilot, tentara atau guru. Bocah dengan sorot mata tajam ini adalah bentuk ketersia-siaan sebuah potensi. Ia tak mengenal sekolah, meski kini telah lancar baca-tulis dan berhitung. Ia haus pengetahuan, ia banyak bertanya, serajin ia meminta buku-buku bekas dan koran bekas yang tak setiap saat bisa kuberikan kepadanya.

Budiman menjadi anak terakhir yang bertahan di rumah kayu ini. Aku harus menghentikan semangatnya setiap sore ketika matahari tenggelam dan tak ada lagi cahaya untuk membaca dan menulis. Dan hari ini Budiman pula anak terakhir yang masih mendekap buku sambil melelehkan air mata. Aku meninggalkannya dengan hati berat. Tugas ini harus aku jalani, kendati itu harus membiarkan Budiman berharap kepada kepala desa untuk menjadi gurunya yang lain.

Aku tak lagi berada di tengah kehidupan transmigran. Tugasku kini di Jawa Tengah tak lagi memberi kesibukan sebagai pengajar. Pendidikan disini berjalan jauh lebih baik, dan kuharap Budiman bisa segera menikmatinya di daerahnya nun jauh disana.

Bocah-bocah kecil berangkat sekolah bersama-sama bersepeda. Tas-tas yang bagus, penuh berisi buku-buku bermutu. Wajah cerah dibalut seragam bagus itu bernyanyi menuju sekolah mereka yang kokoh dan nyaman. Nyanyian itu, membawa ingatanku pada sesosok bocah di pedalaman Sumatera. Murid terakhirku hanya mendekap buku-buku lawas yang kuberi. Kini aku mengiriminya buku-buku yang lain, juga sepercik harapan agar ia menemukan sekolah yang sesungguhnya.

sedjatee – selamat hari pendidikan nasional

Fakta:
– Jumlah anak putus sekolah SD setiap tahun rata-rata berjumlah 600.000 hingga 700.000 siswa. (kementerian pemberdayaan perempuan)
– Lulusan SD yang tak dapat ke SMP tercatat 720.000 siswa atau 18,4 persen dari lulusan SD tiap tahunnya. (kompas.com)
– 4,18 juta anak Indonesia putus sekolah dibawah usia 15 tahun menjadi pekerja anak (tempo interaktif)

sumber gambar : kompas.com

85 pemikiran pada “Murid Terakhir

  1. hadeuh…kok kayak cerita Bu muslimah di Laskar Pelangi sih!…sampai sekarang masih banyak desa-desa di pedalaman sana yg ga punya guru ya? apalagi dokter!

      1. Semoga Pak Guru yang berjiwa pendidik itu masih banyak di negeri ini, sehingga semangat belajar dan pendidikan terbaik terjangkau oleh semua lapisan masyarakat,, semoga.

  2. cerita yang penuh inspirasi kang…. miris membaca kenyataan yang terselip dibawah….. semoga kelak anak-anak generasi penerus bangsa benar-benar memanfaatkan pendidikan yang kini sudah mudah untuk mereka dapatkan….. saya kira semua ini juga karena faktor ekonomi keluarga kang coba keluarga mereka sejahtera tidak mungkin anak-anak lebih milih ngamen & ngemis justru mereka memilih bermain menikmati masa kecilnya & menikmati pendidikan disekolah

  3. Aduuuh, jadi prihatin membacanya. Jangankan anak-anak pendaras karet itu, anak-anak jalanan di Ibu Kota ini pun belum tentu bisa baca tulis.

    Sedih ya, Om Is hiks…hiks…

  4. kadang memang program pemerintah membingungkan, dilain sisi BOS dilaksanakan, SERTIFIKASI di galakkan, namun peningkatan mutu pendidikan sendiri tak pernah bergerak naik, malah-malah turun draktis
    kita harus memilih para pemimpin yang benar2 amanah, termasuk anggota dewannya
    semoga pendidikan kita segera bangkit

  5. Saleum,
    Ternyata dunia pendidikan di tahun 2011 masih belum merata ya bang Sedj? pemerintah daerah kayaknya yang tidak andil dalam pemberantasan buta huruf. sayang sekali
    saleum
    ** ngomong2 the gooner kapan juara EPL ? 🙂

  6. semoga budiman bisa seperti ikal di novel laskar pelangi…

    sekarang harga karet sedang merangkak naik ke angka 16-17 ribu per kilogram. apabila para tauke-tauke karet tidak menyunat terlalu besar dari harga semestinya, kemiskinan pasti akan lenyap dari bumi para penderes.

    Ah, tapi yang paling penting adalah kesadaran para orang-tuanya. banyak buruh penyadap karet yang cukup kaya tapi enggan menyekolahkan anaknya. si anak malah disuruh mencari tetes demi tetes lateks di kebun karet. pikir mereka, sekolah hanya membuang waktu dan biaya. mereka tega melihat anak-anaknya gemurusukan di hutan dikerubungi nyamuk, seruat, pacat, sampai dikencingi simpay segala.

    aku juga sering ketemu anak ladang usia delapan tahunan, kulitnya hitam. dari sikap dan cara bicaranya aku yakin anak itu memiliki kecerdasan di atas rata-rata. tapi, ah, sayang sekali, dia buta huruf.

    1. itulah ironi di negeri ini, Cen
      terkadang urusan yang lebih penting tidak mendapat atensi
      masyarakat mencari keadilannya sendiri-sendiri

      sedj

  7. sungguh jarang orang yang bisa bersikap manjing ajur ajer seperti penyuluh pertanian yang tersentuh hatinya menyaksikan anak2 polos yang butuh pendidikan, mas sedj. semoga saja momen hardiknas bisa membuka mata nurani bangsa ini utk memberdayakan anak2 bernasib seperti mereka.

    1. Perlu kepedulian dan perhatian lebih
      kepada anak bangsa di daerah yang sunyi
      mereka juga punya hak sama pada pendidikan
      trimakasih kunjungan dan pendapatnya, Kang

      sedj

  8. ternyata masih cukup banyak yang tidak dapat menikmati pendidikan lengkap ya 😦
    semoga pendidikan di negeri ini bisa lebih baik dan berkualitas lagi…

    semangat! do the best… 😉

  9. 4,18 juta anak anak putus sekolah dibawah usia 15-th?!

    Berarti…cukup banyak cadangan utk regenerasi calon2 TKI…

  10. tidak semua orang peduli akan pendidikan.
    kini pendidikan bagaikan emas bagi mereka yang tak mampu menggapainya . . .
    semoga hardiknas bisa membuka mata hati mereka . .

  11. Bukan rahasia umum lagi kalau sekolah didaerah-daerah terpencil sangat tertinggal mutu pendidikannya. Pemerintah seharusnya lebih berusaha keras lagi untuk memperhatikan pendidikan anak2 daerah tersebut ketimbang menghabiskan uang rakyat untuk hal2 yang tidak penting

  12. Fiksi atau nyata, bagiku begitulah kenyataan negeriku tercinta. Indonesia. Masih belum bisa mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indoneisa. Di satu tempat kehidupan begitu glamaur dengan segala kemudhoratannya namun di wilayah yang lain kehidupan sangat jauh dari cukup.
    Kehidupan yang jauh dari cukup itu berkolerasi dengan pendidikan yang tertinggal. Banyak anak yang mestinya dalam jenjang pendidikan namun karena keadaan lingkungan dipaksa untuk berhenti sekolah dan mengandalkan ototnya untuk mencari nafkah membantu orang tua. Dan itu tidak saja terjadi di pedalaman saja Kang, di kota besar juga masih ada. Contohnya Di Jakarta. Selamat berhari Pendidikan Nasional Kang 😦

    Salam hangat serta jabat erat selalu dari Tabanan

  13. NUMPANG INFO YA BOS… bila tidak berkenan silakan dihapus:-)

    LOWONGAN KERJA GAJI RP 3 JUTA HINGGA 15 JUTA PER MINGGU

    1. Perusahaan ODAP (Online Based Data Assignment Program)
    2. Membutuhkan 200 Karyawan Untuk Semua Golongan Individu yang memilki koneksi internet. Dapat dikerjakan dirumah, disekolah, atau dikantor
    3. Dengan penawaran GAJI POKOK 2 JUTA/Bulan Dan Potensi penghasilan hingga Rp3 Juta sampai Rp15 Juta/Minggu.
    4. Jenis Pekerjaan ENTRY DATA(memasukkan data) per data Rp10rb rupiah, bila anda sanggup mengentry hingga 50 data perhari berarti nilai GAJI anda Rp10rbx50=Rp500rb/HARI, bila dalam 1bulan=Rp500rbx30hari=Rp15Juta/bulan
    5. Kami berikan langsung 200ribu didepan untuk menambah semangat kerja anda
    6. Kirim nama lengkap anda & alamat Email anda MELALUI WEBSITE Kami, info dan petunjuk kerja selengkapnya kami kirim via Email >> http://uangtebal.wordpress.com/

  14. Banyak juga anak-anak yang putus sekolah karena keadaan yang tidak memungkinkan. Disini hampir sebagian besar pemulung dan peminta-minta adalah anak-anak yang terpaksa tidak menjalani pendidikan. Sekalipun ditawari, orangtuanya merasa keberatan dengan alasan tak ada yang membantu kerjaan mereka nanti… .

  15. Dah tahu begitu, tetap saja mau bangun gedung dewan dengan biaya yang sangat besar. Masih banyak yang perlu dibenahi dan diperhatikan dalam bidang pendidikan.

  16. dunia pendidikan kita hanya seremonial. Maka angka yang dipuja. Kasihan anak-anak itu, mereka sekolah pun ternyata untuk sesuatu yang sebenarnya bisa didapat tanpa melalui belajar di bangku dan menghabiskan banyak hal. dunia pendidikan kita memang menyedihkan bahkan untuk yang di perkotaan.

  17. Sebenarnya yang merasa diperlakukan tidak adil itu gurunya juga lochh….soale adikku udah 5 tahun lebih jadi guru honorer ngga diangkat2 jadi PNS…semua cuma janji gombal ajaa…….dan sekarang dah 4 bulan gajinya belum turun…sekalinya turun pasti disunat…nasib-nasib….

  18. aku pernah tingga di Tangerang 2 th lebh mas, an di Sana juga banyak anak2 yg tidak sekolah, aku sempat menjadi guru mereka, dan satu lagi yang sangat mengherankan, biaya sekolah di Tangerang lebih mahal di bandingkan dengan Jakarta, aku tidak mengerti kenapa bisa bgitu mas ..

    selamat hari pendidikan mas

    salam 🙂

  19. pendidikan saat ini di negeri kita tercinta ini masih termasuk barang yang mwah saat ini, semoga seiring dengan berjalannya waktu, pendidikan di negeri kita ini dapat dinikmati oleh setiap penduduknya tanpa perlu memikirkan biayanya. selamat hari pendidikan nasional.

  20. kalau ngeliat keadaan begini harusnya anggota2 DPR itu gak perlu study banding keluar negeri.
    tp belajar aja dr negeri sendiri, gimana supaya rakyat Indonesia gak kesusahan lagi 😦
    sampe banyak bgt yg putus sekolah gitu

  21. Ah..andai Budiman bisa diajak ke kota ya, bersekolah, tumbuh, besar, berkembang, hingga tekadnya bisa memajukan negeri ini..SUngguh, ketersia-siaan potensi. Mudah-mudahan buku-buku yang dikirimi bisa menjadi pencerah pak. Amien

  22. Banyak kesenjangan yang terjadi di negeri ini. Terkadang membingungkan juga, bagi mereka yang hidup di daerah terpencil, jangankan mengejar standar nilai yang tinggi, untuk bersekolah saja terkadang sulit, kalau pun bisa bersekolah, jarang pengajar yang bersedia bertempat disana…

  23. inspiratif
    ternyata masih banyak anak negeri ini yang putus sekolah
    maaf lama tidak jalan-jalan
    salam dari pamekasan madura

  24. fakta yang sungguh sangat menyedihkan mas.. ketika katanya negeri ini sedang membangun tapi generasi mudanya tersia-sia.. jadi membangun untuk apa dan untuk siapa ya kalo begitu? saya salut dengan perjuangan guru2 yg iklas berbagi

  25. ya ampun, sebelum membaca tulisan ini, saya hanya mengira pendidikan tertinggal hanya ada di Indonesia timur. Cerita anda adalah ketukan kedua untuk saya setelah film Denias.

    Persis spt yang anda ceritakan disini

    Semoga kebaikan anda menemukan penerusnya

    salam

  26. hiks-hiks…
    Sampai kapan ya pendidikan hanya untuk orang yang ‘mampu’?
    Apa para petinggi negeri ini gak pernah memperhatikan para murid seperti yang ada di dalam foto??? 😥

  27. Itulah yang kita takutkan, dengan adanya dana bantuan sekolah dan beasiswa bukan menjamin anak2 tak putus sekolah. Pemerintah sepertinya tak tuntas menanganinya.

  28. inspiratif…. dengan banyaknya fasilitas yang memadai bagi pendidikan, belum tentu produk yang dihasilkan berkualitas… kita tengok ulama, dan para okoh terdahulu… yang dengan kesederhanaannya, mampu mencetuskan banyak gagasan yang sampai saat ini bisa kita rasakan….
    kesimpulan saya :
    saat ini kita butuh kesadaran pentingnya ilmu pengetahuan untuk kehidupan dunia dan akhirat. walapun dengan keterbatasan, jika semangat itu yang di hidupkan… maka tak akan jadi masalah dengan sebuah keterbatasan fsilitas…. semngat kang.. salam kenal

  29. dalam keperihatinan, saya pun turut mengucapkan selamat hari pendidikan nasional! semoga akan lebih baiklah!

  30. Para orang tua di daerah terpencil biasanya enggan menyekolahkan anaknya dengan alasan pendidikan itu tidak penting, mereka beralasan meskipun sekolah buktinya banyak dari anak-anak lulusan SMA bahkan Sarjana sekalipun banyak yang tidak punya pekerjaan.

  31. ah, menyedihkan sekali pendidikan di negeri kita ya Mas,
    masih rendah sekali keinginan utk belajar, krn mereka dan ortunya lebih memilih utk mencari penghidupan sehari2, kenyataan yg memang ada di negeri ini.
    semoga makin banyak pak guru yg seperti pak gurunya budiman,
    salam

  32. cerita yang bagus, terlepas ini fiksi atau nyata yang jelas sebuah cerita yang mampu mengajak pembaca ikut masuk dlam alur ceritanya.
    Nice article.

  33. kasian banget ya sangat bertentangan dimana ortu tak begitu peduli dengan namanya pendidikan sedangkan si anak semangat untuk belajar ^^ semoga masyarakat indonesia lebih bs menghargai pentingnya pendidikan ya..

  34. *hikz..

    pagiku cerah ku matahari bersinar
    kugendong tas merahku di pundak
    selamat pagi semua kunantikan dirimu
    di depan kelasku menanti kan kamu
    guruku tersayang
    guru tercinta
    tanpamu apa jadinya aku
    tak bisa bca tlis
    mengerti banyak hal
    guruku terima kasih guruku….

  35. wah nice banget ini artikel nya..

    saya sebagai pemula sangat takjub.

    tampilan nya keren banget kak..
    hehhehe

    jgn lupa mampir2 ya ketempat saya…
    saya masih pemula.ingin belajar seperti kalian ^^

  36. Sungguh pekerjaan yang Mulia

    Mas,tukeran Link yuk???
    Link Blog maS sudah duduk dngn santai di blogku,
    Ditunggu ya konfirmasi balasannya
    salam kenal 😀
    Terimakasih

  37. Kalo di kota kota besar anak banyak di eksploitasi ortunya dengan mengemis dan mengamen.
    Semoga banyak orang-orang seperti anda baik di pedalaman maupun perkotaan….

Tinggalkan Balasan ke Sugeng Batalkan balasan