Berguru Kepada Hujan

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Bukankah gerimis dan hujan telah mengajarkan kepada kita tentang ketabahan? Mimpi kita adalah oase di padang perjalanan yang panjang. Telah selaksa langkah terayun bercucur peluh. Ada lelah yang menjadi hiasan kanvas kehidupan, dan keluh kesah sebagai warna hitamnya. Haruskan hitam menjadi satu-satunya warna goresan kita?

Mari meraih mimpi tanpa mengumbar resah, kendati jiwa dan raga lelah. Menggapai angan selalu tak mudah, seakan lumrah jika diwarnai amarah, namun kesabaran akan terasa dan terlihat indah. Mari berguru pada ketabahan hujan, yang hanya membisikkan mimpinya pada deru angin, lalu mengarungi ketinggian langit untuk meraih kelopak bunga yang dirinduinya.

Adalah hujan turut mengajarkan kita sikap bijak. Ia menjejak cakrawala dalam bingkai waktu yang terus berlalu. Tercurah, deras, menggerus, kemudian berlalu. Ia lurus menatap masa depan. Ia enggan terus berkubang dengan masa lalu. Karena, hujan merasa lebih indah menatap kuncup yang mekar, merasa lebih syahdu menyimak gemercik mata air.

Kita pun bisa sebijak hujan. Masa lalu adalah kilasan sejarah yang terkadang harus dibiarkan berlalu. Kita harus mampu berkelit dari suramnya masa lalu. Kita harus sanggup melepas belenggu kegagalan. Hidup harus dibangun dengan pondasi optimisme, sebijak optimisme hujan menyambut kunang-kunang di remang langit petang.

Lihatlah indahnya hujan saat menerpa senja. Rintiknya tulus membauri bumi. Rinainya mengalir tanpa pamrih, menghias langit kemarau dengan seutas pelangi, membungkam petir dengan dekapan sunyi. Rintik hujan yang selalu dirindu, namun kita tak kunjung mensyukuri. Derai derasnya terkadang dijawab gerutu, sedangkan kita tak jua menginsyafi.

Hujan tak akan pergi meski dicaci, meski dibenci. Ia akan selalu memenuhi janji cintanya kepada bunga, kepada rerumputan, kepada ikan, kepada belalang, kepada kupu-kupu, dan juga kepada kita. Lantas mengapa kita lupa untuk arif seperti hujan? Bukankah kita terlalu sering berbuat demi sebuah pamrih, bukankah kita selalu ingin dipuji, bukankah kita beramal terkadang untuk disanjung?

Kita akan selalu rindu kepada gerimis, dengan sesekali memaki karena ia membasahi baju kita, tanpa mensyukuri karena ia memercikkan lumpur pada kendaraan kita. Tetapi gerimis tak akan hirau. Ia sudi dimaki, ia tak galau jika dilupakan, ia tanpa pamrih.

================

serpong, 9 juni 2011

sumber gambar : google.com ; hddesktopwallpaper.com ; rainpictures.com
puisi : hujan bulan juni – sapardi djoko damono

84 pemikiran pada “Berguru Kepada Hujan

    1. di sini saja komengnya—-kalo membaca kalimat tinggi seperti di atas jadi teringat lirik2 lagu Katon atau KLA Project 🙂 Serius…

  1. mantep kang puisinya,,,
    saya suka sama suasana hujan, asalkan ga banjir.. 😀

    seperti itulah manusia kang, saya juga termasuk, kalau lagi panas minta ujan, kalau sudah hujan kadang masih saja nggerutu, ga tau maunya apa sebenarnya.. 😀
    tpi mudah2an setiap hujan yg turun membawa berkah dariNya..

  2. makin yakin, tak ada yang sia2, apapun yang diciptakan oleh Sang Maha Pencipta.
    analogi yg indah sekali, dgn mengibaratkan hujan sebagai semangat juang dlm meraih cita2, walaupun banyak halangan , namun tetap terus semangat.

    Selalu ada hikmah yg didapat, tiap kali aku membaca tulisanmu, Mas 🙂
    salam

    1. jadi rindu pada hujan yang pergi entah kemana..
      tiba-tiba aliran sungai di depan rumah terlihat kering..
      daunan jati meranggas..
      sawah jadi bengkah dan garing..
      para petani akhirnya congkrah rebutan air..

      barangkali dhila pun untuk mengatakan dia rindu pada hujan itu..
      menjadi melankolis hanya berani menyebut pada tulip itu.. tulip yang dibasahi hujan..

      dan aku dalam bingkai jendela
      berdoa dalam diam..
      semoga turun hujan yang membawa rahmat
      pada bumi
      pada hati…
      dan Ia tidak menjadikannya sebagai requeim bagi kita..
      amin…

  3. hujan mencurahkan airnya kepada alam semesta sebagai pembawa berkah,
    hujan dijadikan biang keladi menjadi penyebabnya banjir, padahal semua ulah kita.
    hujan menghapuskan kabut yang menebal akibat polusi,

    1. ysalma: hujan dijadikan biang keladi menjadi penyebabnya banjir, padahal semua ulah kita.
      berarti kita belum bisa berlaku sebijak hujan ya Yen,.,

      sedj

  4. Saya malah bergidik kalau sudah rintik, masalahnya kenyamanan pembuangan air slalu melimpah yang akibatnya banjir dijalanan. Tapi, kalau tak hujan, lingkungan panas sekali 😦

  5. Aku selalu suka hujan, karena selalu meninggalkan harum rerumputan dan aroma tanah basah. Aku selalu suka hujan, karena selalu meninggalkan perasaan romantis dan sejuk.

    Aku selalu suka hujan, meski kadang jemuran tak kering 😦

  6. suka hujan jika datang sebentar saja
    suka cemas jika hujan suka turun berlama-lama
    suka sedih jika setelah hujan banjirpun melanda
    suka duka jadi manusia yang pada bandel tidak menjaga lingkungan hehehe

  7. belakangan aku sering merindukan hujan, karena rasanya jarang dan kalaupun datang waktunya tak tepat menurutku. kemarin datang saat waktuku tidur malam, jadi sangat kurindukan suasana gerimis di siang bolong di saat aku berjalan diantara ramai manusia yang bergegas langkahnya.

  8. hujan itu romantis..nyanyian hujan saat jatuh ketanah.. membuat aku jadi merenungkan makna hidup…makanya aku sangat suka banget sama hujan”

  9. Mantap banget puisinya Kang.!! 😀

    Saya suka banget sama hujan. Apalagi sama bau tanah kering yang kena air hujan. Punya “kekuatan” sendiri buat bikin kita jadi inget sama masa lalu. Hehehe…

  10. Teringat puisi kocak Gus Zainal Arifin Toha:

    Hujan di bumi, burung sembunyi
    Hujan di hati, burung bernyanyi
    Hujan tak henti-henti, burungmu barangkali

    😀

    (nice post, kang.
    salut)

  11. “Dia lah yg tlh menurunkan air (hujan) dari langit untuk kamu, sebagian menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuhan, padanya kamu kamu menggembalakan ternakmu.” (An Nahl:10).
    Subhanallah.mudahan kt menjadi hamba yg sll bersyukur.

  12. Memberi tanpa harus menuntut,
    Dimana dibalik rahasia terdapat rahasia.
    Seperti kita yang menuliskan sesuatu di permukaan air yang tenang.

    Sukses selalu mas.
    Salam
    Ejawantah’s Blog

  13. mas…
    kok bikin kalimat2 gitu pinter dan menarik serta inspiratif to mas.. :-s
    bikin iri saja lho…

    filosofis ttg hujan saja bs dijelaskan dengan sedemikian banyak dan luas
    dan juga dg cukup puitis dan romantis…

    Hujan di bulan Juni…
    hmmmm

    :-bd

  14. yang…hujan…turun lagi …
    di bawah payung hitam aku berdiri…
    hahaha
    backsoundnya harusnya itu bang 😀

  15. duh duh..puitis banget….
    tak pandai mencerna nih.. tapi minimal paham garis besarnya… Indah!…
    salam 🙂

  16. Saleum,
    Tanpa adanya hujan, maka bumi akan kesulitan mengumpulkan air bagi kelangsungan penghuninya. semoga kita senantiasa menanggapi turunnya hujan itu dengan syukur.

    saleum dmilano

Tinggalkan komentar